Sunday 14 March 2010

Ketika Hati Tidak Lagi Peka

Apa yang terjadi bila hati tidak lagi berfungsi sebagaimana fungsinya? Bila hati tak lagi peka dengan hal-hal yang tidak benar, apalah jadinya hidup ini? Bila hati tak lagi merasakan perasaan yang dirasakan oleh orang lain, apa arti hidup sesungguhnya?

Hidup adalah pilihan. Namun hidup tentulah pilihan dari berbagai macam pilihan. Hidup tak sekedar memilih. Hidup tak hanya sekedar pilihan biasa sebagaimana jika memilih untuk membeli sesuatu. Hidup tak hanya sesuatu yang bersifat sementaara dan berakhir sebagaimana berakhirnya suatu persitiwa. Hidup jauh lebih dari sekedar peristiwa biasa yang harus dilakoni dalam kehdupan.

Hidup adalah tanggung jaawab. Hidup menuntut kerja keras. Hidup adalah pilihan benar atau salah. Salah memilih dalam hidup berarti sebuah kecelakaan yang tak berujung. Hidup dalam islam merupakan pilihan mutlak yang harus diambil. Hanya ada dua pilihan dalam hidup. Hidup dalam jalan kebenaran dan hidup dalam jalan kebathilan. Islam sangat jelas dalam memberikan arahan.

Islam menjadikan kita mampu memilih dengan benar dan tegas. Islam memberikan tuntunan kearah mana kita mau menuju. Betapa banyak contoh dalam kehidupan manusia. Contoh bisa berwujud sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera manusia. Contoh dalam bentuk realitas kehidupan sehari-hari. Tetapi sebaik-baik contoh adalah contoh kehidupan yang pernah dilakoni oleh Rasulullaah SAW dan para sahabatnya. Alqur’anul karim secara gamblang memberitahukan kepada semua manusia. Tidak terkecuali apakah dia atheis, yahudi, kristen, pagan, budha, hindu, shik, qadiani atau apapun keyakinannya. Seruan itu untuk semua mahluk yang bernama manusia.

Rasulullah SAW adalah contoh paripurna bagi ummat akhir zaman. Ia adalah tauladan yang paling utama dalam kehidupan manusia dalam segala zaman sesudahnya. Ia adalah refleksi dari sebuah HATI yang hidup. Sosoknya merupakan refleksi dari hati yang bening sebening embun pagi bahkan lebih bening dari embun itu sendiri, jernih sejernih air zam-zam dan bhkan lebuih jernih dari air zam-zam yang mujarab itu, dan bersinar laksana bulan purnama dan bahkan lebih terang daripada bulan purnama. Sinarnya menembus batas ruang dan waktu. Menenmbus jazirah arab. Menyebar dari timur ke barat. Di timur ditandai dengan masuknya cahaya islam di kerajaan parsi. Di barat ditandai dengan diterimanya islam di kerajaan romawi. Dua kerajaan masa itu merupakan symbol kekukatan timur dan barat dimana kehidupan manusia diliputi oleh kegelapan. Peradaban benar-benar berada pada titik nadir.

Demikianlah ketika hati yang merupakan segumpal daging (digambarkan oleh seorang Manusia Paripurna yang pernah terlahir dalam suatu peradaban dunia) dalam tubuh manusia tidak lagi berfungsi secara optimal dan proporsional. Itulah ketika segumpal daging itu rusak. Rusak bukan karena tidak diberikan makanan fisik yang cukup. Melainkan karena daging itu tidak mendapatkan siraman rohani. Ia rusak karena tidak dibersihkan dengan cara yang dituntunkan oleh Kekasih sang Empunya kehidupan, Rasulullah SAW. Laksana lampu semprong, kaca semprongnya tak pernah dibersihkan dengan kain bersih, maka jadilah ia berkarat. Dengan demikian ia tak bisa mengeluarkan cahaya.

Demikianlah perumpamaan hati yang berkarat. Ia tak lagi mampu memancarkan cahaya. Ia tak lagi mampu memilih dengan benar untuk sebuah pilihan. Ia tak lagi mampu menjadi komando yang menggerakkan anggota tubuh untuk berbuat kebaikan. Ia tak lagi menjadi kompas dalam kehidupan manusia. Ia telah kehilangan arah serta kendali. Maka kemudian ia tak lagi memberikan signal-signal yang dapat ditangkap oleh akal untuk sebuah perbuatan baik. Karat itu telah menjadi penghalang yang sangat kuat memotong signal-signal kebenaran yang dikirimkan ke otak manusia. Dengan demikian ia tidak lagi berfungsi sebagai penentu dan control dalam segala tindakan manusia.

Bila hati tak lagi menjadi pengendali dalam kehidupan manusia, maka dipastikan bahwa otak akan mengambil alih tugas dan fungsi tersebut. Ketika otak menjadi dominant dalam kehidupan manusia, maka fungsi Hati sebagai terminal akhir dari semua pengambilan keputusan denagan sendirin menjadi marginal. Pada kondisi tersebut, nafsu yang menjadi mitra sejati otak akan mempengaruhi secara dominan kerja otak manusia.

Secara naluriah, otak manusia cenderung pada sifat angkuh dan egois. Otak manusia selalu mengedepankan olah fikirnya dan cenderung menafikan Allah (interfensi Allah) dalam segala aksinya. Itulah sebabnya akal fikiran manusia cenderung pada perbudakan hawa nafsu. Nafsu senantiasa mengagungkan kesombongan dan keangkuhan. Nafsu yang tak terkendali oleh hati identik dengan perbuatan setan atau memang telah menjadi setan itu sendiri. Akal tidak mampu mengontrol keinginan hawa nafsu. Nafsu ibarat lava gunung berapi yang setiap saat memaksa keluar ke permukaan tanah. Tidak pernah peduli apa yang akan terjadi di sekitarnya jika ia dipaksakan keluar. Demikianlah hawa nafsu dipenuhi oleh angkara murka bila tidak dimenej dengan kalbu yang jernih. Ia selalu menundukkan akal pikiran manusia yang memilih untuk tidak mendengarkan suara hatinya. Produk dari hawa nafsu dan akal pikiran yang dominant dalam kehidupn adalah kesombongan, keangkuhan, cenderung berbuat kerusakan, keserakahan, dan bermuara pada kemunafikan.

Dalam sejarah peradaban manusia mulai dari nabi Adam AS sampai pada manusia modern saat ini tercatat bahwa jutaan manusia bahkan miliaran yang menjadikan hawa nafsunya sebagai pedoman hidup. Tersebutlah sang tokoh pencetus pembunuhan, Qabil, putra Adam AS, ia membunuh saudaranya Habil demi memuaskan hawa nafsunya untuk mendapatkan kecantikan saudari perempuannya yang secara syariat tidak dibolehkan untuk dinikahinya. Karena hatinya tak lagi mampu memberikan control atas hawa nafsunya, maka memilih untuk membunuh saudaranya menjadi lebih baik dalam pandangan Qabil. Namun, apa yang terjadi adalah penyesalaan. Penyesalan yang tak akan berujung.

Lihatlah bagaimana kesudahan Raja namrduz di masa kenabian Ibrahim AS khalilullah. Sebagai penguasa pada masa itu, ia merasa terusik oleh ulah Ibrahim yang tak henti-hentinya menyeru kaumnya untuk menyembah Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Puncaknya ketika Ibrahim AS dibakar dalam sebuah kobaran api yang amat dahsyat dalam ukuran manusia, namun tidak bagi Allah, Sang Penguasa Jagad raya. Ia, Namrudz merasa bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan Ibrahim AS adalah dengan mebakarnya hidup-hidup. Dengan demikian orang-orang akan menyaksikan bagaimana kesudahan Ibrahim AS. Namun Allah SWT berkehendak lain. Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. DitanganNyalah apa yang ada di langit dan di bumi. Jika Dia berkehendak, maka jadilah. Tak ada satu mahlukpun yang dapat menghentikanNya.

Demikianlah Namrudz mengedepankan akal dan hawa nafsunya seraya berfikir bahwa itulah cara menghentikan Ibrahim dari seruannya itu. Ia tak lagi mampu berfikir bahwa jika Ibrahim AS berkata benar tentulah dia yang akan celaka. Allah SWT telah mengunci rapat segala indera yang ia dan pengikutnya miliki dari sebuah jalan kebenaran. Hati mereka tak lagi mampu menangkap signal-signal ilahiah yang secara naluriah setiap manusia memilikinya. Hilanglah fungsi hati dari kepekaannya terhadap sekitarnya. Hilanglah signal hati yang mampu menangkap hal-hal diluar dari apa yang dapat dijangkau oleh Indera manusia.

Semoga torehan pena ini memberikan inspirasi kepada saya dan pun orang lain yang sempat membacanya untuk terus berusaha dan berdoa kepada Yang membolak-balikkan hati manusia agar diberi hati yang jernih, bening dan terus bersinar. Sehingga hati kita mampu menjadi penentu pilihan yang tepat dalam kehidupan yang sangat sementara ini demi hidup dan kehidupan abadi di negeri akhirat yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam buku pedoman kehidupan abadi, Alqur’anul hakim.

Penulis

Guru SMKN 1 Galang Tolitoli

No comments:

Post a Comment