Sunday 14 March 2010

PERGESERAN NILAI DAN DEKADENSI MORAL

PADA KALANGAN REMAJA USIA SEKOLAH


Dewasa ini dunia pendidikan kita mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan khususnya pada tataran Afektif. Tak dapat dipungkiri bahwa terjadinya dekadensi moral dan etika pada remaja kita (baca: siswa) tidak terlepas dari pergeseran nilai yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Gambaran sederhana tampak pada tatacara bergaul dan berpakaian remaja pada umumnya. Pada tahun 80an bergandengan tangan di tengah jalan apalagi berpelukan sementara masih beratribut sekolah merupakan hal yang langka bahkan TABU bagi sebagian besar orang dewasa (baca:Masyarakat). Tetapi sekarang fenomena seperti itu menjadi TREND. Rasanya belum lepas dalam ingatan kita ketika Film dengan judul 'BURUAN CIUM GUE' sangat digandrungi oleh remaja. Tentu kita bertanya kenapa lantas film seperti itu sangat digemari remaja kita? Jawabannya adalah 'nilai' yang dikemas dalam film itu telah menjadi bagian dari gaya hidup remaja kita.

Demikian halnya dengan gaya berpakaian remaja putri (ABG ) cenderung mengeksploitasi KEINDAHAN TUBUHnya. Mereka sering terlihat tampil dengan busana – busana minim yang transparan lagi ketat. Model rambut yang punky dengan anting yang bersusun bagi remaja putra menjadi hal biasa. Penampilan dan gaya bicara yang artificial sebagai pelengkap dari tongkrongan remaja kita. Mall dan tempat-tempat umum lainnya, seperti pantai, kedai-kedai terbuka di sepanjang pantai, cafe, bahkan diskotik menjadi tempat mangkal mereka. Lebih ironis lagi ketika orang tua memberikan dukungan secara tak langsung alias mentolerir dengan dalih TREND hidup remaja.

Itu baru satu sisi kehidupan remaja kita, masih banyak sisi yang lebih buram bahkan telah mencapai titik nadir. Betapa sering kita baca berita utama koran atau lewat layar kaca, terjadi tawuran massal antar sekolah. Di Palembang, tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (Lihat Sumatra ekspres Palembang 23 /9/ 2006 dalam Budie 2008). Hal yang sama juga terjadi di Palu antara siswa SMA 2 dan SMK 3 beberapa tahun yang lalu. Demikian halnya di Tolitoli tahun 2006 terjadi aksi saling lempar sekolah antara MAN 1 Tolitoli dengan SMKN 1 Tolitoli. Ada pula siswa mengkonsumsi sabu-sabu, ekstasi, dan obat-obatan psikotropika lainnya bahkan terlibat dalam pengedaran. Berdasarkan data yang ada pada Kementrian Kordinator Kesejahteraan Rakyat bahwa pada tahun 2006 sekitar 3,2 juta penduduk Indonesia pernah mengkonsumsi atau menggunakan dan obat-obat terlarang lainnya. Selain itu sebagai rangkaian dari kecanduan obat-obat terlarang itu, mereka (baca:siswa) sering ditemukan baik secara berpasangan maupun berkelompok melakukan pesta seks. Lebih ironis lagi jika hal-hal tersebut terjadi pada jam-jam sekolah. Inilah potret remaja kita dewasa ini yang notabene akan menjadi generasi penerus perjuangan bangsa.

Dalam survei yang digelar di 12 kota besar pada tahun silam, Komisi Nasional Perlindungan Anak alias Komnas Anak mendapatkan hasil yang mencengangkan. Dari lebih 4.500 remaja yang disurvei, 97 persen di antaranya mengaku pernah menonton film porno. Sebanyak 93,7 persen remaja sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas mengaku pernah berciuman serta happy petting alias bercumbu berat. Yang lebih menyeramkan lagi, 62,7 persen remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi. Bahkan, 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. (Sumber : Doc. SCTV 24 July 2008 Rafki R.S – perilaku seks remaja SMP dan SMA)


Meskipun demikian masih ada sekelompok kecil remaja sekolah kita yang berusaha untuk mempertahankan etika dan moral (baca: kelompok rasional religius) di tengah gencarnya glamoritas kehidupan remaja masa kini. Kelompok ini kadang-kadang mendapat perlakuan yang kurang simpati dari kelompok pertama (baca : kelompok Gaul). Mereka sering dituding dengan kata-kata sok alim, kuper, kampungan, dan berbagai macam tudingan yang bernada sumbang.

Ketika hal-hal tersebut terjadi, sering kali kita baik sebagai orang tua maupun sebagai anggota masyarakat lebih pandai mencari kambing hitam (black sheep) atau menimpakan kesalahan pada orang lain. Pada tataran ini posisi GURU seringkali menjadi tidak menguntungkan. Dalam perspektif umum, GURU adalah anggota masyarakat yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya dekadensi moral pada kalangan remaja. Ini terjadi karena guru menjadi trendsetter bagi peserta didiknya. Memang hal ini tidak bisa dipungkiri karena posisi mereka dekat dengan anak didik dan mereka dijadikan pola anutan secara tidak langsung. Padahal bila kita mencermati pegeseran nilai yang terjadi di kalangan remaja kita dewasa ini tentu tidak terlepas dari andil lima kelompok masayarakat sebagai berikut.

Pertama, orang tua merupakan pendidik pertama dan utama. Dalam perspektif Islam, peran orang tua adalah central bagi terbentuknya sikap dan perilaku anak yang kelak menjadi remaja yang selanjutnya menjadi warga masyarakat. Artinya bahwa pola didikan dan penanaman prinsip-prinsip etika dan budi pekerti yang menjadi acuan dan prinsip hidup orang tua sangat menentukan bagi terbentuknya sikap dan perilaku bagi anak di manapun ia berada. Jika prinsip – prinsip hidup yang dipegang oleh orang tua berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran tentu akan memberikan warna yang simpatik bagi terbentuknya remaja yang teguh dengan prinsip itu. Sebaliknya jika lingkup kehidupan orang tua cenderung permisif dengan berbagai hal yang kurang mendidik maka dipastikan anak yang menjadi peniru pertama dan utama dalam kehidupan keluarga akan tumbuh menjadi remaja yang permisif dengan segala pola perilaku (baik dan buruk) yang berkembang di luar rumah.

Kedua, masyarakat merupakan agen yang kedua mempengaruhi pola etika dan moral yang dipegang oleh anak. Masayarakat dalam konteks ini adalah lingkungan di mana mereka hidup dan bergaul sehari-hari. Bila lingkungan nya memberikan nilai-nilai religius dalam pergaulan dalam arti bahwa pola kehidupan yang sarat dengan nilai pendidikan dan etika maka tentu akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anak ketika bergaul di luar lingkungannya. Demikian pula jika sebaliknya, tentu lambat laun akan berdampak negatif pada pola perilaku anak baik ketika berada di sekolah atau di tempat lain.

Guru adalah anggota masyarakat yang paling sering disebut memiliki andil sangat vital dalam diskursus pergeseran nilai dan dekadensi moral di kalangan remaja usia sekolah. Memang posisi guru cukup dilematis karena mereka adalah tokoh central yang menjadi parameter dalam pola Etika dan Moral bagi remaja tersebut. Padahal jika kita lihat dari sisi waktu (30% sehari) yang digunakan oleh GURU untuk mendidik anak di sekolah tentu tidaklah arif jika kita mencoba menimpakan secara sepihak kemerosotan moral remaja kita saat ini kepada guru semata. Walaupun demikian, guru tidak boleh serta merta mengelak dari tuduhan itu. Mereka bahkan dituntut untuk mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang memiliki integritas, mandiri dan beretika tinggi sehingga pantas menjadi acuan atau tauladan baik terhadap anak didiknya maupun dalam keluarga dan lingkungannya. Bukan sebaliknya sebagaimana sering dilansir lewat media massa di mana Guru sering terlibat berbagai tindakan kriminal. Bukan pula mereka yang menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis demi terwujudnya impian materialisnya. Dengan demikian Guru harus tetap pada rel yang benar dalam rangka menjadi pola anutan dan contoh yang baik bagi remaja (baca:siswa ) sehingga tetap pantas untuk menyandang predikat nan mulia diGugu dan ditiRU (GURU).

Keempat, ulama termasuk kelompok masyarakat elit yang memegang peranan sangat vital dalam menanamkan Etika dan Moral di tengah-tengah masyarakat secara umum. Dalam pandangan Islam posisi ulama adalah posisi yang sangat mulia. Para ulama menurut Rasulullah SAW adalah pewaris para nabi. Mereka adalah parameter anutan serta contoh bagi warga masyarakat. Ketika mereka berbuat kekeliruan maka kewibawaan mereka menjadi luntur serta perkataan mereka menjadi tak berkesan yang pada gilirannya tidak dipatuhi secara psikologis. Sekarang ini tentu kita bertanya sejauh mana para ulama kita memberikan pencerahan-pencerahan yang dapat membentengi remaja kita dari perbuatan – perbuatan yang melanggar agama dan etika umum. Sejauh mana fatwa mereka menjadi undang-undang atau peraturan pemerintah yang dapat mencegah anak remaja kita dari berpakaian minim, ketat dan transparan. Sederet pertanyaan serupa dalam benak kita yang belum dapat terjawab mengingat marginalnya pengaruh ulama dalam kehidupan sehari-hari kita. Ataukah para ulama kita saat ini telah berpikir pragmatis toh yang penting tidak menimpa keluarga dan anggota keluaga saya.

Kelima, pemerintah adalah kunci dari segala perubahan yang terjadi baik secara politis maupun sosial karena ia merupakan kelompok elit yang memegang kekuasaan (baca: pemerintah). Dalam konteks ini, mereka adalah kelompok eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kelompok ini membuat kebijakan publik berupa peraturan-peraturan yang nantinya menjadi kode etik yang berlaku. Peran mereka sangat vital mengingat peraturan-peraturan yang menjadi produk hukum itu dilengkapi dengan sangsi-sangsi yang bersifat mengikat. Pertanyaan kemudian muncul, sejauh manakah aturan-aturan itu telah mengakomodir kepentingan remaja khususnya remaja usia sekolah. Selain itu, tindakan seperti apa yang telah diambil oleh pemerintah dalam menghadapi tingkat degradasi moral dan etika remaja kita yang hampir pada titik nadir?

Saling mengkambing-hitamkan tentu saja tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas tidak cukup dengan jawaban berupa retorika dan diskursus lainnya. Bahkan sangat mungkin justru memperparah permasalahan sesungguhnya. Dalam situasi seperti sekarang dibutuhkan pemikiran-pemikiran yang jernih untuk menggali akar persoalan yang telah menjadi benang kusut itu, upaya-upaya yang bijak dan arif dari semua kelompok masyarakat untuk mengambil tindakan yang tepat guna mengantisipasi semakin melebarnya pergeseran nilai itu di kalangan remaja kita.

Dibutuhkan semua pihak, terutama kearifan pemerintah bekerja sama dengan ulama bersungguh-sungguh menjadikan perbaikan etika dan moral remaja sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan. Semoga !



Ruslin Tendri

Guru SMKN 1 Galang

Tolitoli


No comments:

Post a Comment